Rabu, 07 April 2010

Muhasabah Bersama dengan Waktu Tertentu


Saudara penanya yang dirahmati Allah, muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghitung-hitung diri. Muhasabah dilakukan sebagai introspeksi dan evaluasi diri untuk mengukur kualitas keimanan dan keislaman.

Muhasabah jelas sekali diperintahkan dalam Islam seperti yang termuat dalam ayat berikut.

“… hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok ….” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan Imam Tirmidzi, Umar Bin Khattab berkata, “Evaluasilah diri kalian sendiri sebelum kalian dievaluasi”.

mapiTidak ada keterangan rinci mengenai tata cara, waktu, mekanisme dan teknis muhasabah. Namun demikian, berdasarkan dua keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa muhasabah merupakan amalan yang diperintahkan kepada setiap muslim secara sendiri-sendiri.

Dengan kata lain, muhasabah merupakan amalan fardi (dilakukan secara perseorangan) dan bukan merupakan amalan jamai (dilakukan secara bersama-sama), apalagi jika muhasabah dikaitkan sebagai amalan dzikir. Berdasarkan pada beberapa hadits, dzikir dianjurkan dilakukan secara pribadi. Bahkan, dzikir lebih baik dilakukan dengan menyepi di waktu yang sunyi terutama di malam hari sebagaimana diisyaratkan dalam hadits berikut ini.

“… dan seseorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyepi sehingga meneteslah air matanya …” (H.R. Bukhari)

Muhasabah seperti yang dianjurkan dalam keterangan di atas, agaknya mirip dengan teknik self-observation, teknik self-evaluation, atau teknik self-criticism dalam dunia psikologi atau teknik self-analysis dalam dunia psikoanalisa. Ini diartikan sebagai suatu usaha individu untuk memahami diri sendiri, serta mengenali kelemahan atau keterbatasan dirinya. (Chaplin, 1997)

Dengan demikian, alangkah lebih baik jika muhasabah dilakukan secara sendiri-sendiri agar dapat meningkatkan kualitas kekhusukan dan kedekatan diri kepada Allah sehingga kita tidak mengikatkan diri pada mekanisme tertentu sehingga dapat terhindar dari hal-hal yang dianggap tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah Saw.

Terkecuali jika muhasabah tersebut dilakukan satu paket sebagai acara penutup dari kegiatan tertentu. Misalnya muhasabah dilakukan di akhir pengajian dengan dipimpin langsung oleh ustadz pengisi acara tersebut sebagai penguatan ruh mustami’. Contoh lain adalah jika kebetulan muhasabah dilakukan dalam rangkaian tahajjud sebagai nasihat dari imam.

Pendekatan Halal Haram Merokok

Untuk saat ini melakukan pelarangan merokok dengan pendekatan fatwa “halal haram” belumlah tepat. Buktinya berkali-kali wacana keharaman ini dilontarkan di Indonesia malah menimbulkan polemik antara umat dan juga musuh klasiknya yakni para produsen rokok. Sehigga malah seolah muncul masalah baru.

Padahal sudah jelas tertulis dalam bungkus rokoknya tentang bahaya rokok aktif maupun pasif. Namun itu hanyalah hiasan saja, dan cukup dimentahkan dengan ungkapan : hidup mati urusan Allah dsb.

Kita bisa memakai metoda lain dengan menguraikan keburukan ketika merokok. Diantaranya adalah :

1. Boros
"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. [QS.17:27].

2. Kesia-siaan
Manusia beriman senantiasa menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat.
"dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna" (QS.23:3)

3. Mendholimi dirisendiri dan orang lain.

"Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih" (QS. Asy Syura: 42) 



Menjadikan Ibadah sebagai Wasilah

Wasilah artinya perantara atau perahu yang mengantarkan ke tempat tujuan. Jika berbicara boleh atau tidak, maka boleh-boleh saja ibadah dijadikan sebagai wasilah.

Misalnya ada seorang ibu yang terus-terusan shalat tahajud karena anaknya belum juga mendapatkan jodoh, atau seorang anak yang rajin shalat dhuha karena mengharapkan lulus ujian, itu syah-syah saja atau diperbolehkan. Akan tetapi Imam Ghazali pernah berkata bahwa ada tingkatan atau kualitas ibadah seseorang itu berbeda-beda.

Yang pertama, Ibadah kualitas pedagang yaitu jika modal 10.000 maka harus mendapatkan 11.000 atau lebih dari itu, dan itu merupakan ibadah yang seperti tadi.

Yang kedua, Ibadah khowas yaitu beribadah dengan ada unsur syukur, beribadah sebagai wujud syukur keada Allah swt.

Angan-angan dengan cita-cita itu berbeda. Angan-angan yaitu suatu impian yang tidak diikuti dengan tindakan atau usaha, sedangkan cita-cita yaitu suatu impian atau keinginan yang diikuti dengan tindakan atau usaha untuk mendaptkan atau mencapai cita-cita tersebut.

Misalnya seorang pelajar yang ingin mendapatkan nilai cumlaude akan tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkannya, tidak pernah mengulang pelajaran yang sudah didapat, tidak pernah mencatat pelajaran yang didapat, maka itu sama dengan angan-angan.

Berbeda lagi jika pelajar tersebut ada usaha untuk belajar, rajin megulang dan mempelajari lagi apa yang sudah didapat, maka itu yang disebut cia-cita.

Seorang muslim harus memiliki cita-cita yang besar, meskipun hanya seorang karyawan biasa harus memiliki cita-cita menjadi seorang manager atau bahkan owner dari perusahaan itu.

Amanah-Amanah Yang Tidak Mudah Ditunaikan


1.    Memberi Maaf ketika Marah

 … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang.

Seringkali kita merasakan sesaknya dada, panasnya pikiran dan tergesanya indera-indera lainnya dalam memutuskan sesuatu ketika sedang marah.

Marah dalam hal baikpun perlu control management, karena seperti yang telah disampaikan dalam kajian bahwa marah adalah jalan favorit syetan untuk gencar membisiki manusia.

Nah, ketika kondisi seperti itu terjadi maka “memberikan maaf” adalah kalimat yang susah sekali ditunaikan. Ketika emosi marah terjadi, kadang kita malah gelap mata ingin membalas perlakuan kedholiman kepada diri ini dengan sesuatu yang lebih dholim.

Dipukul sekali rasanya ingin membalas dengan pukulan berkali-kali dengan dalih agar jera. Berkata buruk dan kasar karena merasa didholimi, dan terkadang ucapan buruk kita melebihi dengan ucapan buruk yang kita terima. Itulah sebabnya memberikan maaf ketika marah sepertinya sulit diwujudkan. Padahal Allah SWT telah mengkabarkan jika kita mampu memberikan maaf maka itu lebih baik, dan itulah ciri-ciri hati manusia taqwa.

Tidak ada istilah “tiada maaf bagimu” atau istilah “biarlah memaafkan ini berlalu dengan waktu”. Allah SWT saja Maha Penerima Taubat, Rosululloh SAW dalam sirah selalu mencontohkan untuk memberikan maaf dengan atau tanpa permintaan dari sang pelaku.

Dan dalam ilmu psikologi, memberikan maaf akan memberikan rasa tentram di hati dan memberikan kesejukan dalam bermuamalah dan menyuburkan silaturrahim.

Bukankah tidak ada manusia yang bersih dari dosa?? Jadi seseorang yang bersalah kepada kita adalah sangat wajar. Dan kita juga sebaliknya bisa melakukan hal yang sama.

2.    Berderma ketika Miskin
… (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,

Kenapa hal ini berat dilakukan? Karena banyak sekali diantara kita menganggap status miskin adalah status yang aman untuk berkata tidak dalam bersedekah. Untuk makanpun susah, apalagi harus berbagi dengan orang lain.

Ketika kita dan keluarga ini miskin seolah-seolah semua yang tersisa adalah barang berharga. Jadi imposible untuk memberikannya kepada orang lain atau memberikannya dijalan dakwah fisabilillah. Bahkan selalu memposisikan, saya adalah objek kedermawanan bukan sebagai subjek. Maka betul sekali! Bahwa ketika miskin atau susah, itulah kondisi paling sulit dalam menyambut himbauan infaq sedekah.

Tetapi bagi sebagain orang yang nilai keimanannya kebih mantap, kemiskinan bukan menjadi masalah. Semua harta adalah titipan Allah SWT, adalah hal yang super sangat mudah bagi Allah SWT memberikan rizki kepada hambanya bahkan dengan tiba-tibapun.

Tidak ada istilah merasa bahwa “saya ini adalah termiskin didunia”. Ketahuilah semiskin apapun, masih banyak yang lebih susah dari kita. Nikmat Iman dan kesehatan adalah sesuatu yang tidak ternilai apalagi untuk diuangkan. Allah Maha Kaya, tidak Tidur dan selalu memperhatikan hamba-Nya yang secara maksimal mendermakan hartanya di jalan Allah SWT.

Berbahagialah jika kita masuk kategori tersebut, hidup terasa benar-benar menikmati karunia Allah SWT. Bukankah Rasululloh SAW bukanlah seseorang yang kaya? Dan bagi yang kaya, kebakhilan dan kesombongan mengancam dirimu dan tidak ada jalan lain selain menjadi dermawan ketika kaya. Karena itulah jalan yang lurus menuju syurga.


3.    Meninggalkan yang Haram dan Dholim ketika sendirian

 … Ya Rasulullah, apakah ihsan itu ?”. Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia selalu Melihatmu”. Orang itu berkata, “Engkau benar”…( [HR. Muslim juz 1, hal. 40]

Hal ketiga yang susah dilakukan adalah meninggalkan kedholiman ketika sendirian. Bukankah kita setiap tahun selama sebulan (ramadhan) kita ditempa untuk jujur, meninggalkan yang sesuatu padahal itu halal. Dan itu hanya diketahui oleh kita sendiri dan Allah SWT.

Meninggalkan kedholiman atau kemaksiatan secara bersama-sama di lingkungan sholeh adalah mudah, selain malu kepada Allah SWT kita juga akan merasa malu dan hina diketahui oleh orang lain.

Tetapi ketika sendirian, syetan lebih hebat lagi beraksi. Menjadikan akal sehat kita lupa, sesuatu yang haram ‘dibungkus’ seolah menjadi halal, yang jelas-jelas maksiyat bisa dilakukan dengan ringan dengan dalih tidak ada yang melihat, tidak ada yang dirugikan, darurat dan sebagainya.

Ingatlah selalu bahwa Allah itu Maha Melihat, Maha Tahu, Tidak Tidur dan semua yang bergerak didunia ini tidak lepas dari pengamatan Allah SWT walaupun hanya selembar daun di tengah hutan.

Jikalau kita berdua, Allah SWT Hadir sebagai yang ketiga. Ketika kita sendiri, Allah menjadi yang kedua. Maka betul sekali bahwa tingkatan ihsan adalah tertinggi, dimana kita selalu merasa dilihat oleh Allah SWT sehingga apa yang dilakukan dan apa yang disembunyikan didalam hati selalu jauh dari keinginan menyimpang dari jalan lurus, jalan menuju ridho Allah SWT.

4.    Berkata jujur kepada siapapun
 Dari 'Abdullah (bin Mas'ud), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Wajib atasmu berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan terus-menerus seseorang berlaku jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan terus menerus seseorang itu berdusta dan memilih yang dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". [HR. Muslim juz 4, hal. 2013]

Lawannya jujur adalah dusta, pembohong. Berkata benar dan jujur kepada teman-teman sefaham di barisan kita mungkin hal yang sangat mudah.
Tetapi berkata benar dan jujur kepada seseorang yang tidak disukai atau kepada lawan adalah hal yang sulit.

Kita harus berani mengatakan bahwa itu salah dan tidak benar walaupun itu berkaitan dengan seseorang yang kita cintai atau seseorang yang kita hormati.

Lidah ini kadang kelu ketika harus mengatakan ‘oh ya saya yang salah”..”gini pak, anda salah harusnya tidak seperti itu”…”saya tidak setuju karena itu tidak benar!” didepan seseorang yang kita segani.
Maka sebagai manusia beriman, harus berani berkata benar kepada siapapun dan dengan resiko apapun. Kejujuran yag menyakitkan lebih baik daripada kebohongan yang menipu dan menyenangkan.

Keberanian Abu bakar mengatakan kebenaran 100% terhadap isra mi’’raj yang dilakukan Nabi patut ditiru, padahal hampir semua penduduk Mekah tidak percaya dan menertawakan Rosululloh SAW sebagai yang mengada-adakan cerita bohong.

Keberanian seorang anak gembala untuk mengatakan “dimanakah Allah ???” ketika sang khalifah Umar bin Khattab mencoba merayu ingin membeli domba diantara ratusan yang ada. Dan dipastikan itu tidak akan diketahui oleh siapapun termasuk sang pemilik. Tetapi anak gembala tersebut jujur dan berani.

Keberanian pemimpin Turki mengatakan kebohongan dan kekejian negara Israel dalam suatu dialog dengan pemimpinnya secara langsung ketika event negara-negara internasional adalah keberanian yang sekarang susah dicari, padahal saat itu tidak satu negarapun yang berani menyinggung ataupun membahas perkara ‘sensitif’ itu mengingat Israel selalu dilindungi Amrik (the real terrorist).

Jadi saatnya kita harus belaku dan berkata jujur, kapanpun-dimanapun dan kepada siapapun.Semoga kita termasuk manusia yang mampu memegang amanah. Amiin

Perbedaan Iman dan Islam

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya yang bersambung kepada Yahya bin Ya’mur –rahimahullah-, ia berkata: “Sesungguhnya orang pertama yang mengingkari taqdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Karena itu ketika aku berangkat haji bersama Humaid ibnu Abdirrahman Al-Himyari dan sampai di Madinah, kami berkata: “Semoga saja kita bisa bertemu dengan beberapa Shahabat.” Dan kamipun bertemu dengan Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- di Masjid, maka kami apit dia antara aku dan shahabatku.

Berkata Yahya bin Ya’mur: “Aku menduga bahwa shahabatku akan meminta aku untuk berbicara, maka aku berbicara: “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya di tempat kami ada beberapa orang yang membaca Al-Qur’an, namun mereka mengingkari adanya taqdir dan bahwasanya segala sesuatu terjadi begitu saja”. Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- berkata: “Jika engkau bertemu mereka khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau saja salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian di infakannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada taqdir baik dan buruknya.

Kemudian Ibnu ‘Umar berkata: “Telah menyampaikan kepadaku ‘Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian putih bersih, berambut hitam pekat, tidak Nampak sedikitpun padanya tanda-tanda dari perjalanan jauh dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalinya, sampai akhirnya ia duduk menghadap Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu ia menyandarkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Ya Muhammad terangkan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi tiada ilah yang berhaq disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk menunaikannya.” Ia berkata: “Engkau benar!” Kami merasa heran kepadanya, ia yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.

Kemudian dia berkata lagi: “Khabarkan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “(Iman itu adalah) engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada taqdir baik dan buruknya.” Ia berkata: “Engkau benar!”

Lalu ia berkata: “Selanjutnya terangkan kepadaku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab: “Yaitu hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau merasa tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia selalu melihatmu”.

Orang itu kembali bertanya: “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat?” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Orang tersebut kembali bertanya: “Kalau begitu beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Yaitu apabila budak perempuan melahirkan majikannya dan engkau melihat seseorang yang tidak beralas kaki, telanjang, papa dan penggembala saling berlomba-lomba dalam meninggikan bangunannya.”

Kemudian orang tersebut berlalu (pergi). Maka kami terdiam untuk beberapa saat. Lalu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Dia adalah Jibril. Ia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)

Di dalam hadits Jibril –‘alaihi salam- diatas kita melihat bahwa Islam dan Iman adalah dua perkara yang berbeda. Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab dengan amalan-amalan dhahir (amalan lahiriah). Sedangkan ketika ditanya tentang Iman Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawabnya dengan amalan-amalan bathin (amalan hati) yaitu tentang keyakinan dan kepercayaan.

Walaupun Islam dan Iman hampir tidak bisa dipisahkan, amalan hati dalam bentuk keyakinan pasti akan mempengaruhi amalan-amalan dhahir. Demikian pula sebaliknya, amalan dhahir tidak akan bermakna tanpa disertai dengan niat lurus yang berada dalam hati. Maka amalan-amalan dhahir seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, belum tentu akan menjadi amalan yang berarti disisi Allah hingga diiringi keyakinan dan keikhlasan di dalam hati.

Allah –Subhanahu wa ta’ala- juga memerintahkan Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menegur orang-orang Arab Baduy; dan menyatakan bahwa mereka belum beriman, ketika mereka datang dalam keadaan mengira –dengan keislamannya- telah memberikan jasa dan keuntungan kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’ala- berfirman:

 “Orang-orang Arab Baduy itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kalian telah menjadi muslim’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian….” (Al Hujuraat:14)

Maka ayat ini pun menunjukkan perbedaan Islam dengan Iman; bahwasanya amalan-amalan dhahir hanya menunjukkan keislaman seseorang, adapun iman akan tumbuh sesuai dengan keyakinan hatinya. Oleh karena itulah orang-orang Arab gunung tadi dinyatakan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- yang Maha Mengetahui bahwa keimanan belum masuk pada diri mereka.

Tentunya amalan hati tidak bisa dilihat oleh kita sebagai manusia biasa, namun bisa dilihat dari tanda-tandanya. Tentu akan berbeda seorang yang shalat hanya karena terpaksa dengan tanpa keikhlasan dalam hatinya, seperti shalatnya kaum munafiqin. Allah gambarkan mereka dalam ayat-Nya:

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (An-Nisaa:142)

Demikian pula pada kisah A’rabi (orang-orang Arab gunung) diatas. Ada beberapa tanda bahwa keimanan belum masuk pada hati mereka; Pertama mereka memanggil Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dari luar bilik dengan tidak sopan, maka Allah menghibur Nabi-Nya dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh.

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar bilik(mu) kebanyakan mereka adalah orang yang bodoh”. (Al-Hujuraat:4)
Kedua mereka mengira bahwa keislaman mereka menguntungkan dan memberikan jasa kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal sebaliknya justru Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jasa kepada mereka dan Allah –Ta’ala- yang memberikan hidayah kepada mereka. Allah –Ta’ala- berfirman:

“Mereka merasa telah member ni’mat kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah member ni’mat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan”. (Al-Hujuraat:17)

Demikian pula para Salafush-Shalih tidak mudah untuk mengucapkan kami beriman atau mereka beriman, cukup mereka menyatakan mereka muslim dan muslimuun. Bahkan ada sebagian pendapat ulama seperti Imam Al-Laalika’i –rahimahullah- yang menyatakan wajibnya memakai kalimat Insya Allah dalam iman seperti kalimat: “ana mu’minuun InsyaAllah” artinya: “Saya seorang beriman InsyaAllah”. (Lihat Ushul I’tiqad Ahlus-Sunnah oleh Imam Al-Laalika’i:5/965)

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm:32)

Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan dalam masalah Iman dan Islam;

“Kalau disebut bersama maknanya berbeda, kalau disebut terpisah maknanya sama”.

Sehingga kalimat saya mukmin bisa diucapkan dengan maksud saya muslim. Namun tentunya yang lebih selamat kita menyatakan saya muslim dengan berharap dan berdo’a agar Allah menambah dan menyempurnakan keimanan kita. Wallahu a’lam.

Islam, Iman, dan Ihsan


Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegerttian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman

Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

Batasan Minimal Sahnya Keimanan
 1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.

3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

6. Iman kepada Taqdir.
Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lesannya, dan anggota badannya.

Taqdir Buruk
Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta taqdir, maka semuanya baik.

Makna Ihsan
Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

1. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi.

2. Maqom Musyahadah yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut.

Kunci-Kunci Ilmu Gaib di Tangan Allah

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan hanya di sisi-Nya lah kunci-kunci ilmu gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia” (QS Al An’aam: 59). Apakah yang dimaksud kunci-kunci ilmu gaib tersebut? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -manusia yang paling memahami Al Quran- menafsirkan bahwa kunci-kunci ilmu gaib tersebut ada lima macam. Beliau bersabda yang artinya, ”Kunci-kunci ilmu gaib ada lima, hanya Allah yang mengetahuinya: tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang tahu apa yang dikandung oleh rahim kecuali Allah, tidak ada yang tahu kapan turun hujan kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan meninggal, dan tidak ada yang tahu kapan terjadi hari kiamat kecuali Allah.” (HR Bukhori)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok . Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman: 34). Para ulama menyebutkan bahwa kelima hal ini disebut dengan kunci ilmu gaib karena kelima hal ini merupakan awal dan pintu gerbang dari hal-hal lain yang mengikutinya.

Adapun nabi, rasul, dan para malaikat, maka terkadang Allah memberitahukan kepada mereka beberapa perkara yang gaib seperti tanda-tanda kiamat yang banyak disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan lain sebagainya. Namun demikian, ilmu gaib yang Allah sampaikan pada utusan-Nya tersebut hanyalah sebatas yang Allah beri tahukan sehingga tidak mencakup seluruh ilmu gaib yang ada. Allah berfirman yang artinya, “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS Jin: 26,27)

Kunci Ilmu Gaib Pertama: Hari Kiamat

Hari kiamat adalah awal mula dimulainya alam akhirat. Tidak ada seorang makhluk pun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Bahkan ketika Jibril -malaikat yang paling mulia- bertanya kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam -manusia yang paling mulia- tentang kapan terjadinya hari kiamat, Rasulullah hanya menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu dibandingkan yang bertanya” (HR Muslim). Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan Jibril ‘alaihis salam keduanya tidaklah mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Oleh karena itu, janganlah kita mudah terbawa arus jika ada yang menyebutkan bahwa hari kiamat akan terjadi pada tanggal sekian atau sekian dan perlu diketahui bahwa klaim seperti itu tidak lebih dari kedustaan yang dihembuskan syaitan dan bala tentaranya untuk memalingkan manusia dari jalan Allah, wal ‘iyadzu billah.

Kunci Ilmu Gaib Kedua: Turunnya Hujan

Turunnya hujan adalah awal tumbuhnya tanaman di permukaan bumi. Allah yang menurunkan hujan dan Dia pula yang tahu kapan hujan akan turun. Namun jika ada orang yang mengatakan, “Bagaimana dengan ramalan hujan yang bisa diprediksi oleh alat canggih di zaman sekarang?” Maka hal ini tidaklah bertentangan sama sekali karena alat secanggih apapun yang dibuat oleh manusia sekarang ini, hanya sebatas memprediksikan dan bukan memastikan. Seringkali prediksi alat tersebut meleset. Maka tidak ada satu orang pun atau sebuah alat secanggih apa pun yang tahu dengan pasti kapan hujan akan turun.

Kunci Ilmu Gaib Ketiga: Apa Yang Dikandung Oleh Rahim

Allah lah yang menciptakan janin tersebut dan hanya Allah lah yang mengetahui seluruh hal yang akan terjadi pada janin tersebut. Kehidupan dalam rahim adalah awal mula kehidupan dunia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya” (QS Ar Ra’d: 8 )

Kemudian, jika ada yang menanyakan, “Bagaimana dengan USG di zaman sekarang yang bisa mengetahui jenis kelamin janin tersebut?” Maka hal ini tidaklah bertentangan. Karena alat yang dikenal dengan USG tersebut hanya bisa mengetahui jenis kelamin janin, itu pun setelah janin terbentuk selama beberapa waktu dan juga berapa banyak prediksi USG tersebut yang keliru dan berbeda dengan kenyataan setelah janin tersebut lahir. Dan tidak ada satu alat pun yang bisa mengetahui bagaimana nasib janin tersebut di dunia dan akhirat, apakah dia akan menjadi hamba yang soleh atau seorang yang banyak berbuat dosa. Apakah janin tersebut akan berumur singkat atau akan hidup di dunia dalam jangka waktu yang lama? Dan masih banyak lagi hal-hal lain tentang janin tersebut yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala saja.

Kunci Ilmu Gaib Keempat: Apa Yang Dilakukan Esok Hari

Jika seseorang tidak tahu apa yang akan dilakukan dirinya sendiri esok hari, maka lebih tidak mungkin lagi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh orang lain esok hari. Oleh karena itu jelaslah kedustaan dukun, tukang ramal dan manusia yang setipe dengan mereka yang mengklaim bahwa mereka tahu tentang apa yang terjadi di masa yang akan datang. Jika ada yang mengatakan, “Saya tahu apa akan saya lakukan esok hari, bahkan saya telah menyusun jadwal kegiatan saya esok hari”. Maka hal ini tidaklah bertentangan dengan dalil Al Quran. Karena jadwal yang telah disusun tersebut barulah sebatas rencana yang belum tentu terlaksana. Siapa tahu keesokan harinya ada hal yang menghalangi kita sehingga kita tidak bisa melaksanakan jadwal tersebut, karena sakit misalnya. Atau boleh jadi di malam hari kematian menjemput kita sehingga jadwal tersebut tidaklah lagi berguna bagi kita. Maka hal ini sebagaimana yang sering disebutkan oleh orang, “Manusia boleh berencana tapi Allah jualah yang menentukan.”

Kunci Ilmu Gaib Kelima: Tentang Kematian

Kapan dan di mana dia mati? Bagaimana akhir kehidupannya? Apakah dia akan mati di atas kebaikan atau keburukan? Maka hal ini hanya Allah sajalah yang tahu. Kematian ini merupakan awal mula bagi seseorang untuk memasuki alam akhirat. Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana dengan orang yang dihukum mati? Bukankah dia telah tahu kapan dia akan mati dan tempat kematiannya?” Maka kembali kami tegaskan bahwa hal ini tidaklah bertentangan. Karena boleh jadi justru dia mati lebih awal sebelum waktu eksekusi dilakukan, atau bisa jadi tiba-tiba dia mendapatkan pengampunan sehingga tidak jadi dieksekusi. Demikian pula dengan tempat kematiannya, bisa jadi dia mati lebih dahulu di tempat yang tidak dia sangka-sangka sebelumnya. Oleh karena itu janganlah seseorang menunda untuk bertaubat walaupun dia telah divonis dengan hukuman mati karena bisa jadi kematian datang lebih cepat dan dia belum sempat untuk bertaubat, na’udzubillah…
Demikaian penjelasan tentang Kunci-Kunci Ilmu Gaib,lebih jelase sampeyan baca dewe nang Al-Qur'an. . .
Barang siapa yang mengaku-ngaku bahwa ia tahu tentang salah satu di antara lima hal ini atau orang yang membenarkan pengakuan tersebut, maka orang tersebut telah kafir jika syarat-syaratnya telah terpenuhi dan tidak ada penghalang untuk memberikan vonis kafir. Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati terutama dengan maraknya fenomena perdukunan dan dunia ramal belakangan ini. Jangan sampai kita menggadaikan dan menjual agama kita demi mendapatkan informasi yang belum jelas kebenarannya dari dukun dan tukang ramal tersebut. Semoga Allah menjauhkan kita dari dosa kesyirikan baik yang nampak maupun yang tersembunyi, yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Amiin ya mujibbassaailiin.

Sabtu, 03 April 2010

HARI AKHIR DAN MUNCULNYA AL MAHDI

Beberapa penjelasan penting mengenai Hari Akhir adalah sebagai berikut: Selama kekacauan mengerikan di hari akhir, Allah akan memerintahkan seorang hamba yang mempunyai akhlak yang mulia, yang dikenal sebagai Al Mahdi (pemberi petunjuk ke arah kebenaran), untuk mengajak umat manusia kembali ke jalan yang benar. Tugas pertama Al Mahdi akan berupa dikobarkannya perang pemikiran di dalam dunia Islam dan mengembalikan umat Muslin yang telah jauh dari intisari Islam sejati, menuju iman dan akhlak sesungguhnya. Dalam hal ini, Al Mahdi mempunyai tiga tugas dasar:

1. Menghancurkan seluruh sistem filsafat yang mengingkari keberadaan Allah dan mendukung ateisme.

2. Memerangi takhayul dengan membebaskan Islam penindasan orang-orang munafik yang telah menyimpangkan agama, dan kemudian mengungkap dan melaksanakan akhlak Islam sejati yang didasarkan pada aturan Al Qur'an.

3. Memperkuat seluruh dunia Islam, baik secara politik maupun sosial, dan kemudian mengembangkan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan serta memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.

Menurut sejumlah besar hadits, Nabi  Isa AS akan turun ke bumi pada waktu bersamaan dan akan menyeru seluruh pemeluk Kristen dan Yahudi, khususnya, untuk meninggalkan berbagai kepercayaan takhayul yang diyakini oleh mereka pada saat ini dan hidup menurut Al Qur�an. Ketika pemeluk Kristen telah mendengarkannya, umat Islam dan Kristen akan bersama di bawah satu keimanan dan dunia ini akan mengalami zaman perdamaian, keamanan, kebahagian, dan kesejahteraan terbesar yang dikenal sebagai Masa Keemasan.


Angan² Melakukan Reformasi Islam

Gara² terorisme Islam, banyak orang jadi ingin tahu tentang Islam dan Islam pun jadi sorotan pengamatan mereka. Masyarakat Barat mulai bertanya-tanya dimanakah para Muslim moderat? Well, sebenarnya kagak ada Muslim moderat. Konsep pemikiran seperti itu sungguh salah. Masyarakat Muslim melihat masalah Islam dengan sudut pandang berbeda. Bagi mereka yang ada hanyalah Muslim kaffah atau Muslim KTP. Golongan Muslim KTP inilah yang biasanya dijuluki pihak Barat sebagai Muslim moderat. Bagi Muslim kafah, golongan ini lebih tepat dijuluki sebagai golongan Muslim munafik. Tidak heran pula jika banyak ‘Muslim moderat’ yang mengaku sebagai orang² munafik dengan menyatakan bahwa mereka bukanlah Muslim teladan. Tapi di dalam benak mereka, mereka pun bercita-cita untuk jadi Muslim kaffah setelah mereka puas melakukan banyak ‘dosa’ dan menikmati kesenangan duniawi.

Islam itu benar² agama yang jahat. Masalah dengan Islam terdapat di dalam kitab sucinya, dan bukan hanya pada umatnya saja. Dengan memanfaatkan ketidaktahuan banyak kafir, sejumlah Muslim muncul dengan gagasan untuk melakukan “reformasi Islam” (perubahan dalam Islam). Beberapa Muslim “perubah” (reformer) ini ternyata didukung oleh sejumlah masyarakat Barat yang tak tahu apa² tentang Islam, karena mereka berharap gagasan ini akan mengatasi masalah terorisme Islam. Padahal kenyataannya kebanyakan umat Muslim tidak terlalu peduli akan reformasi Islam ini.

Di artikel ini aku akan membahas apakah Islam bisa dirubah atau tidak.

Mari perhatikan etimologi (asal-usul kata) dan arti kata re-form (pembentukan kembali atau perubahan). Reform berasal dari kata latin refōrmāre, yang berarti mengganti, mendapatkan kembali, memperbaharui. Semuanya menjelaskan usaha merubah atau mengembalikan kembali sesuatu untuk kembali bentuk aslinya.

Sebelum membahas reformasi dalam Islam, mari telaah reformasi dalam Kristen.


Reformasi Kristen

Reformasi Kristen mulai sebagai usaha untuk mengubah kembali gereja Katolik, dan bukannya agama Kristen. Banyak umat Kristen yang merasa tidak senang terhadap badan Gereja dan praktek² yang diterapkannya, seperti penjualan surat pengampunan dosa dan simoni (jual beli kedudukan dalam gereja). Mereka menganggap hal ini sebagai doktrin yang salah dan penyimpangan dalam Gereja.

Martin Luther, Ulrich Zwingli, John Calvin dan para reformis lainnya melakukan protes terhadap praktek² ini dan juga kepercayaan yang dianut Gereja seperti Purgatori, keimanan pada Bunda Maria, perantara dan berbakti pada orang² suci, sebagian besar aturan sakramen, larangan untuk menikah bagi para pemimpin jemaat (termasuk monastisism), dan kekuasaan sang Paus.

Tiada satu pun dari hal tersebut yang merupakan doktrin Kristen. Semua hal tersebut merupakan praktek² Gereja. Para reformis memprotes Gereja. Mereka tidak menyangkal keberadaan Alkitab. Mereka meminta agar Alkitab bisa dibaca langsung secara harafiah. Mereka menolak tafsir simbolis ayat² kitab suci dan penerapan aturan² Perjanjian Lama dan Baru sebagai aturan hukum. Kata² dalam Alkitab bermakna sebagaimana adanya; semua kesulitan, kontradiksi, atau arti yang tidak jelas merupakan kesalahan pembaca saja dan bukan kesalahan isi kitab suci.

Semua hal yang tidak tercantum secara tegas dan harafiah dalam Alkitab akan ditolak, dan segala hal yang tercantum secara tegas dan harafiah dalam Alkitab akan ditaati sepenuhnya.

Begitulah intisari Reformasi Protestan.


Reformasi Islam

Reformasi serupa juga terjadi dalam Islam, dan namanya adalah Salafisme.

Banyak kaum Barat yang sangat yakin bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab (1703-1792) merupakan pendiri sekte Islam ekstrimis. Hal ini tidak benar. Abdul Wahhad tidak mendirikan sekte baru. Yang dilakukannya hanyalah mereformasi Islam, sama seperti yang dilakukan Luther terhadap Kristen.

Intisari pemikiran Abdul Wahhab adalah Islam adalah agama sempurna dan lengkap di jaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Kemerosotan Islam merupakan hasil dari penyimpangan (bid’ah) dan kebangkitan kembali Islam akan terjadi melalui perjuangan tiga generasi Islam pertama dan penghapusan pengaruh² asing dalam Islam.

Pengertian bahwa Islam sempurna di generasi² pertama tercantum di Qur’an 5:3 yang artinya :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di hadis Sahih Muslim, nomer 2450,
Muhammad menyatakan:
Aku adalah Salaf terbaik bagimu.

Abdul Wahhab mengajak umat Muslim untuk menolak segala penemuan baru dan hanya mengikuti contoh² yang salaf (pendahulu atau generasi² pertama), sehingga gerakan baru ini dikenal sebagai gerakan Salafi.
Salafi: سلفي, mencontoh pada Muslim generasi pertama di jaman awal Islam sebagai contoh untuk diteladani.
Gerakan ini bukanlah ciptaan Abdul Wahhab tapi merupakan gerakan berdasarkan hadis yang mengatakan Muhammad berkata:

Masyarakat generasiku merupakan orang² terbaik, setelah itu mereka yang muncul selanjutnya, dan mereka yang muncul kemudian (yakni tiga generasi pertama Muslim).
(Hadis Bukhari 3:48:819 dan 820, dan Hadis Muslim 31:6150 and 6151] (Tabi‘in dan Taba‘ at-Tabi‘in,).

Untuk membantah anggapan kaum Barat bahwa Abdul Wahhab adalah penemu Salafi, penting disebutkan bahwa ibn Taymiyyah (1263-1328) juga seorang Salafi. Ibn Taymiyyah menolak perayaan hari lahir Muhammad dan pembangunan kuburan keramat bagi orang² suci Sufi, dengan mengatakan: “Banyak dari mereka (Muslim) yang bahkan tidak tahu bahwa kebiasaan ini awalnya dilakukan umat Kristen (Katolik). Terkutuklah Kristen dan umatnya.”

Penggunaan awal istilah Salaf muncul di buku Al-Ansab oleh Abu Sa’d Abd al-Karim al-Sama’ni, yang mati di tahun 1166 (562H). Dalam menjelaskan istilah al-Salafi, dia menyatakan, “Hal ini berhubungan dengan sala, atau para pendahulu, dan adaptasi pemikiran ajaran mereka berdasarkan apa yang telah kudengar.” Dia lalu memberi contoh² para ahli ulama yang mengamati hubungan ini.

Keinginan untuk mereformasi Islam dan mengembalikannya pada bentuk awal sebenarnya merupakan cita² lama. Akan tetapi, Abdul Wahhab berhasil mewujudkan bentuk konsep pemikiran ini, karena jasa raja² Saudi yang merupakan keturunan²nya melalui salah satu putrinya.

PEMBERANGUSAN KEBEBASAN BERPIKIR DAN BERAGAMA ADALAH DAMPAK ATAS EKSISTENSI ISLAM....

ORANG YANG MEYAKINI ADANYA KEBEBASAN BERPIKIR ATAU KEBEBASAN KEYAKINAN DAN DIA YAKIN TENTANG ADANYA KEBEBASAN BERAGAMA MAKA DIA TELAH KAFIR, karena setiap orang yang yakin bahwa seseorang boleh beragama selain agama Muhammad berarti dia kafir kepada Allah dan BERHAK DICELA, jika mau bertaubat dia diampuni dan jika tidak maka DIA WAJIB DIBUNUH.

Agama bukanlah pemikiran tetapi wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untuk membimbing hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalimat "kebebasan berfikir" yang maksudnya adalah KEBEBASAN BERAGAMA HARUS DIBUANG DARI KAMUS BUKU-BUKU ISLAM, karena itu dapat menyebabkan kepada makna yang rusak, sehingga akan muncul bahwa Islam adalah pemikiran, Nasrani Pemikiran dan Yahudi pemikiran. Dampaknya, akan muncul pemikiran bahwa agama Nasrani adalah pemikiran Isa dan syariat-syariatnya adalah pemikiran buatan manusia yang bisa diyakini oleh siapa saja yang mau. Yang jelas, agama langit (samawi) adalah agama yang berasal dari sisi Allah yang diyakini oleh manusia sebagai wahyu dari Allah yang dengannya manusia menyembah-Nya dan tidak boleh dikatakan sebagai pemikiran.
Kesimpulannya bahwa orang yang meyakini bahwa orang boleh beragama apa saja yang dikehendakinya, dan dia bebas memeluknya, BERARTI DIA TELAH KAFIR kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

"Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85).

 Kemudian Allah berfirman, "Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam." (Al-Maidah: 19).
Maka tidak diperkenankan bagi seseorang untuk meyakini bahwa agama selain Islam boleh dipeluk, bahkan jika dia meyakini hal tersebut, para ahlul ilmi telah berterus terang bahwa dia kafir dengan kekafirannya yang dapat mengeluarkannya dari agama.

meraih hasanah di dunia dan hasanah di akhirat

Mengingat bahwa tulisan ini adalah tulisan rintisan, maka Anda akan menemukan penambahan, pengurangan, maupun penyempurnaan setiap waktu.

Bagian Pertama: Kematian dan Pasca Kematian

Tujuan dari bagian ini adalah mengidentifikasi bahwa setiap muslim hendaknya mengingat dua hal berikut ini.

1. Bahwa setelah wafat, ada masih ada peluang untuk 'mendulang pahala'.

2. Akhir hidup seorang muslim hendaknya dalam kondisi "syahadah" (atau lebih populer dengan istilah "mati syahid).

Dengan berorientasi kepada kedua hal di atas, berarti seorang muslim telah 'merencanakan' akhir yang bahagia (happy ending, husn al-khatimah).


Bagian Kedua: Menjalani Hidup yang Islami

Tantangan yang ingin dijawab pada bagian kedua ini adalah : bagaimana setiap individu bisa menikmati "hidup yang hasanah" di dunia ini.

Secara umum, kondisi hidup yang hasanah di dunia dipahami dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan individu dengan cara (jalan, metode, sistem, thariqah, sabil/subul, shirath) yang "Islamy".

Menariknya, setiap upaya individu untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya di dunia ini dengan cara yang islamy akan digelari dengan sebutan "ibadah".

Dengan kata lain, "ibadah" dalam konteks pembicaraan ini, bermakna "segala upaya pemenuhan kebutuhan hidup di dunia secara islamy".

Ragam Kebutuhan

1. Rasa damai, tenang, bahagia, aman. Kebutuhan ini bolehlah kita beri nama dengan kebutuhan spiritual.

2. Berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan ini kita beri nama kebutuhan sosial(isasi).

3. Mendapatkan dan memberikan informasi (pengetahuan dan keterampilan). Kita beri nama kebutuhan ini dengan kebutuhan intelektual.

4. Kesehatan, kebugaran, dan keindahan fisik/tubuh. Ini adalah kebutuhan jasmani/fisikal.

Ciri Seorang Muslim

Kondisi terpenuhinya kebutuhan di atas bisa digunakan untuk merumuskan 'identitas' (ciri-ciri) sejati seorang muslim. Seorang muslim adalah seorang yang:

    * memancarkan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan
    * luas pergaulannya dan bermanfaat bagi orang banyak
    * cerdas dan terampil
    * kaya serta sehat dan bugar

(Kita bisa, jika ingin, memperpanjang daftar di atas dengan menguraikan ciri-ciri yang sudah disebutkan dalam empat poin tersebut. Kita juga bisa memasukkan ciri khas seorang muslim ketika ia wafat: tidak tampak penderitaan di wajahnya, tercium aroma wangi yang khas baik di sekitar tempat ia meninggal atau di makamnya)
 
 Aktifitas Pemenuhan Kebutuhan

1. Kebutuhan spiritual dipenuhi dengan cara "zikr" dan "syukr".

2. Kebutuhan sosial dipenuhi dengan cara: a) mengamati/memperhatikan, b) mendengarkan, c) berbicara, dan d) membantu orang lain.

3. Kebutuhan intelektual dipenuhi dengan cara: a) membaca, b) menulis, c) mencoba, dan d) mengajar.

4. Kebutuhan jasmani dipenuhi dengan cara: a) 'bekerja' untuk memperoleh uang, b) makan-minum yang halal lagi thayyib, c) membersihkan dan 'memperindah' bagian dalam dan luar tubuh, d) 'bekerja' untuk memperoleh dan meningkatkan kesehatan serta kebugaran tubuh

Al-Quran dan Hadits berisi informasi seputar "aktifitas" pemenuhan kebutuhan di atas.

Ada aktifitas yang prosedur pelaksanaannya (kondisi, syarat) dijelaskan secara terperinci dan 'ketat'. Ketat dalam pengertian penjelasan tersebut sedemikian jelasnya hingga tidak menimbulkan 'penafsiran' yang berbeda atau beragam bagi yang membacanya.

Di sisi lain, tidak sedikit pula aktifitas yang aturannya dijelaskan secara umum dan 'longgar'.

Tidak boleh dilupakan, bahwa beberapa aktiftas pemenuhan kebutuhan adalah "khas Islam". Maksudnya, prosedur atau aturan aktifitas tersebut hanya ada dan diakui dalam Islam. Misalnya, zikr. Aktifitas ini adalah "khas Islam". Ia bukanlah "meditasi", meski ada element meditasi yang disebut 'mirip' dengan prosedur berzikr.

Nah, aktifitas yang khas Islam pada umumnya dijelaskan secara terperinci dan ketat. Keterlibatan 'kreatifitas' individu untuk menciptakan prosedur, aturan, atau cara baru dalam konteks ini sangatlah minimal (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali atau dilarang. Lihat: bid'ah).


Sebaliknya, aktifitas pemenuhan kebutuhan yang tidak khas Islam, pada umumnya dijelaskan secara umum dan longgar. Seperti aktifitas memelihara kebersihan tubuh dan lingkungan. Di sinilah keterlibatan kreatifitas manusia untuk membuat prosedur, aturan, atau cara dibuka luas (untuk tidak mengatakan dianjurkan/disunnahkan atau diperintahkan/diwajibkan)

Keseluruhan aktifitas pemenuhan kebutuhan di atas untuk selanjutnya kita sebut dengan 'amal.

Amal Shalih vs Amal Thalih

'Amal, sebagaimana umum diketahui, ada yang sifatnya shalih dan ada pula yang thalih (tidak shalih). Ada cara 'bekerja' untuk memperoleh uang yang shalih dan ada yang thalih.

Kita menggunakan kata 'shalih' untuk menunjukkan bahwa kategori 'baik' di sini tidak saja baik dari sisi 'hukum'-nya (wajib atau haram; kategorisasi syariah atau fiqh) tetapi juga baik dari sisi 'moral/akhlaq' -nya (dianjurkan atau tidak dianjurkan).

Di masa depan, ketika kita menemukan 'perintah' untuk beramal shalih, maknailah dengan: perintah untuk memenuhi kebutuhan kita (dan bukannya kebutuhan Allah) secara shalih.

Jika Anda menemukan perintah 'berzikr', maka maknailah dengan: Allah swt memerintahkan Anda untuk memenuhi kebutuhan Anda, yaitu memperoleh dan menikmati ketenangan.
 
 Amal yang Diperintahkan dan yang Dilarang

Ada aktifitas pemenuhan kebutuhan yang diperintahkan dan ada yang dilarang. Ada 'amal yang diperintahkan untuk dikerjakan dan ada pula 'amal yang dilarang untuk dikerjakan, meski kalau dikerjakan akan mampu memenuhi kebutuhan.

Hasil Amal Shalih: Kuantitas dan Kualitas

    * Hasil berzikr adalah ketenangan, kedamaian diri.
    * Hasil bersyukur adalah bertambahnya ni'mat yang akan diterima
    * Hasil bershilaturrahim adalah rezeki yang lancar
    * Hasil belajar dan mengajar adalah...
    * Hasil bekerja adalah uang
    * Hasil makan-minum adalah kesehatan dan kebugaran
    * Hasil berolahraga adalah kesehatan dan kebugaran
    * Hasil memelihara kebersihan dan keindahan tubuh dan lingkungan sekitar adalah...

Pada zaman ini, segala sesuatunya hampir bisa diukur dengan angka, diberi peringkat, dan diperlombakan.

Bila seorang muslim bersungguh-sungguh (baca: berlomba-lomba) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia ini, maka kesungguhannya itu akan menjadikannya sebagai individu yang sangat produktif. Kondisi ini sudah mendekati kondisi "hasanah di dunia".


Nilai Amal Shalih: Duniawi vs Ukhrawi

(Rujukan: Duniawi vs Ukhrawi)

Adalah keyakinan seorang muslim bahwa hidupnya di dunia ini akan ia lanjutkan di akhirat (setelah 'meninggalkan dunia')

Kata duniawi bermakna bersifat dunia, keduniawian. Sementara kata ukhrawi bermakna bersifat akhirat, keakhiratan. AKhirat yang dimaksud di sini adalah jannah (surga) dan bukan naar (neraka).

Kata dunia juga bisa dimaknai dengan 'dekat' sebagai lawan dari akhirat, 'jauh'.

Jika kita menempatkan keduanya dalam konteks tujuan, maka kata dunia bermakna tujuan jangka pendek dan kata akhirat bermakna tujuan jangka panjang. Individu disebut berorientasi duniawi jika ia menetapkan tujuan

Meski suatu amal dikerjakan secara shalih, namun belum tentu amal tersebut bernilai ukhrawi, atau bahasa awamnya: diterima Allah; memperoleh pahala.

Memenuhi kebutuhan hidup di dunia tidak selalu bernilai 'duniawi'. Terkadang, sebuah aktifitas ('amal) yang tidak ada aturannya (baca: hukumnya, prosedurnya, syarat, dan rukunnya) dalam Al-Quran dan Hadits bisa bernilai ukhrawi.

Pendorong dan Pencegah Amal Shalih

Apa yang mencegah seseorang dari memenuhi kebutuhannya secara shalih?

    * Malas, Manja/tidak ingin mersusah payah, bekerja keras
    * Tidak mengetahui cara yang shalih

Kamis, 25 Maret 2010

Intisari Sejarah Kehidupan Nabi SAW

Intisari Sejarah Kehidupan Nabi SAW, Hasyimi, Bandung. Judul asli Zubdah As-Sirah An-Nabawiyah: Al-Mujmal li Shahih min Tarikh Hayati Sayyidina Ar-Rasul SAW, penerjemah Tholib Anis, 462 halaman + xxi, 11 x 18. Rp45.000,00.

Brifis: Membaca sejarah hidupnya saja (h.7-19) sungguh sudah merupakan jamian kualitas buku ini. Dilahirkan dari keluarga intelek di Mekah, suka bepergian mengembangkan imu (mendirikan sekolah) dari Timur Tengah, Afrika, sampai ke Asia Timur; Penang, Jambi, Bengkulu dan banyak tempat lagi, menempatkannya sebagai penyiar ajaran Rasulullah.

Bahkan, buku ini tidak tepat dikatakan intisari, seharusnya lebih dari itu. Memang berisi pokok-pokok sejarah Nabi Muhammad SAW namun bukan sajian seperti untuk pelajar anak SD. Buku ini, seperti banyak buku sejarah Rasulllah lainnya, disajikan kronologis dari kelahiran sampai wafat, dan tidak ketinggalan masa sebelum kelahiran.

Gaya Hidup Orang Kaya


Ada 1 lembaga penelitian sekuler di USA yang meneliti tentang orang-orang bahagia. Karena ini
lembaga sekuler, ukuran bahagia pertama adalah banyaknya uang, maka lembaga tersebut
mensurvey orang-orang kaya (milyuner) dengan sample awal sebanyak lebih dari 200 ribu orang
milyuner. Dari 200 ribu itu disaring kadar bahagia- nya berdasarkan berbagai parameter termasuk
keluarga tersebut. Hasil saringan terakhir ada sekitar 200 orang yang dianggap sangat bahagia,
karena selain kaya, bisnisnya luar biasa, menikmati hidup, keluarganya beres. Hasil survey
tersebut ditulis dalam buku karangan ThomasStanley berjudul "The Millionaire Mind."

Orang-orang kaya tersebut rata-rata sudah berumur, mereka adalah orang kaya dalam 1 generasi, artinya bukan kaya warisan, tapi kaya dengan modal zero, alias kerja sendiri. Kemudian orang-orang ini diwawancara satu per satu secara detail, dan di-summary-kan gaya hidup orang-orang tersebut, berikut 10 gaya hidup:

1. Orang-orang tersebut frugal = hemat,
artinya:
mereka penuh pertimbangan dalam memanfaatkan uang mereka. Untuk beli sesuatu, pikir-pikir dulu sekitar 20 kali, tipe orang yang tanya sama Tuhan tentang segala sesuatu pengeluaran. Mereka tidak diperbudak mode, meskipun tidak kuno, tapi modis. Mereka tahu dimana beli barang bagus tapi murah.
2. Orang-orang tersebut selalu hidup di bawah incomemereka, tidak hidup gali lobang tutup lobang alias anti utang.
3. Sangat loyal terhadap pasangan - tidak cerai dan setia!
4. Selalu lolos dari prahara baik dalam keluarga/bisnis (di USA sering resesi ekonomi, mereka
selalu lolos). Setelah ditanya apa kunci lolosnya, jawabannya: "overcoming worry and fear with The Bible and pray,with faith to God. We have God and His word."
5. Cara berpikir mereka berbeda dalam segala segi dengan orang-orang kebanyakan,
contoh:
kita kalau ke mall, mikir abisin duit, mereka malah survey mencari bisnis apa yang paling laku di mall. They think differently from the crowd. Mereka "man of production" bukan "man of consumption."
6. Ketika ditanya kunci suksesnya:
a. Punya integritas = omongan dan janji bisa dipegang dan dipercaya.
b. Disiplin = tidak mudah dipengaruhi, dalam segala hal, termasuk disiplin dalam hal makanan,
mereka orang yang tidak sembarangan konsumsi makanan. Tidak serakah.
c. Selalu mengembangkan social skill = cara bergaul, belajar getting along with people, belajar
leadership, menjual ide, mereka orang yang meng-upgrade dirinya, tidak malas belajar.
d. Punya pasangan yg support, selalu mendukung dalam keadaan enak/tidak enak. Menurut mereka, integrity dimulai di rumah, kalau seorang suami/istri tidak bisa dipercaya di rumah, pasti
tidak bisa dipercaya di luar.

7. Pembagian waktu/aktivitas, paling banyak untuk hal-hal berikut:
a. Mengajak anak dan cucu sport/olahraga, alasannya, dengan olahraga bisa meningkatkan
fighting spirit yang penting untuk pertandingan rohani untuk menang sebagai orang beriman,
untuk bisa sportif (menerima kenyataan, tetapi dengan semangat untuk memperbaiki dan
menang).
b. Banyak memikirkan tentang investment.
c. Banyak waktu berdoa, mencari hadirat Allah, belajar Firman. Ini menjadi lifestyle mereka sejak muda.
d. Attending religious activities.
e. Sosializing with children and grand child, ngobrol.
f. Entertaining with friends, maksudnya bergaul,membina hubungan.
8. Have a strong religious faith, dan menurut mereka ini kunci sukses mereka.
9. Religious millionaire.
Mereka tidak pernah memaksakan suatu jumlah aset sama Tuhan, tapi mereka belajar
mendengarkan suara Tuhan, berapa jumlah aset yang Tuhan inginkan buat mereka. Minta guidance
untuk bisnis. Mereka bukan type menelan semua tawaran bisnis yang disodorkan kepada mereka,
tapi tanya Tuhan dulu untuk mengambil keputusan.
10. Ketika ditanya tentang siapa mentor mereka, jawabannya adalah Tuhan.

EVOLUSI - PIJAR PERADABAN MANUSIA

Pakar teori evolusi yang mengakui arah dan akal dalam EVOLUSI berkaitan dengan Tuhan sebagai sumber, yaitu :
Teilhard de Chardin, R. Wesson, Hans Jonas, C.G. Jung

 Albert Einstein menamakan EVOLUSI : suatu inteligensi yang begitu agung sehingga pikiran sistematis manusia hanya merupakan pantulan lemah dari padanya.

 Sarjana Neurobiologi, Gerald Huther : Perkembangan otak merepih oleh tidak adanya pemeliharaan, ketertutupan terhadap dunia luar. Otak = Organ sosial.

« Thomas Aquinas ( 1225-1274 ) : " Omnia, appetendo propriam perfectionen, ipsum Deum appectunt " (apa saja, yang mendambakan kesempurnaannya, mendambakan Tuhan sendiri)

 Gustavo Gutierrez ( Perintis Teologi Pembebasan ) : Seseorang yang beriman sesungguhnya adalah orag yang melakukan keadilan.

Teilhard De Chardin : Kita tidak bisa maju selangkahpun kalo kita tidak tahu bahwa jalan ini membawa kita ke puncak.

 Psikolog Erich Fromm ( 1900-1980 ) : Kegairahan, nafsu-nafsu mengubah manusia hingga mampu melawan rintangan mahabesar dan berusaha memberikan makna pada kehidupannya.

 Marie Metrailler ( putri petani di desa pegunungan Evolene, Valois : Le paysage est un'etat d'ame ( alam menghirup jiwa )

Jallaludin Rumi : wanita adalah sinar dari cahaya Ilahi.

 Sumber : Buku Pijar Peradaban Manusia - Denyut Harapan Evolusi oleh Franz Dahler dan Eka Budianta. Penerbit Kanisius. 2000.

Rabu, 24 Maret 2010

Membumikan Al-Qur'an

Laylat Al-Qadr

Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.

Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".

Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadr itu.

Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr.

Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.

Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat.

    Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)

    Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)

    Wa ma yudrika la allahu yazzakka (Abasa: 3).

Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.

Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.

Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

   1. Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
   2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
   3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).

Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.

Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:

"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."

Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.

Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?

Mukjizat Shalat

Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab  Suci  dan  Hadits
Nabi,   dapatlah   dikatakan  bahwa  shalat  adalah  kewajiban
peribadatan  (formal)  yang  paling   penting   dalam   sistem
keagamaan  Islam.  Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan  shalat  (iqamat  al-shalah,  yakni  menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum  beriman  adalah  pertama-tama  karena   shalatnya   yang
dilakukan  dengan  penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw.  menegaskan,  "Yang  pertama  kali  akan   diperhitungkan
tentang  seorang  hamba  pada  hari  Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak,  maka
rusak  pulalah  seluruh  amalnya."  [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam  (sikap  pasrah  kepada
Allah),  tiang  penyangganya  shalat,  dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]

Karena   demikian   banyaknya   penegasan-penegasan    tentang
pentingnya  shalat  yang  kita  dapatkan  dalam  sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu  sebaik
mungkin.  Berdasarkan  berbagai  penegasan  itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua  bahan  ajaran  dan  tujuan  keagamaan.  Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri  ('ibadah)  kepada  Allah,  Tuhan
Yang   Maha  Esa,  dan  melalui  shalat  itu  kita  memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan  pada  dirinya  sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.

Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)

Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan   dalam  keseluruhan  shalat,  baik  dalam  unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara  Ilmu  Fiqih,  shalat
dirumuskan  sebagai  "Ibadah  kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan  bacaan-bacaan  dan  tindakan-tindakan  tertentu   yang
dibuka  dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan  dan  tertib  tertentu  yang  diterapkan  oleh  agama
Islam." [4]

Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram),  yang  mengandung  arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala  tindakan  dan  tingkah  laku  yang
tidak  ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu  seakan  suatu  pernyataan  formal
seseorang  membuka  hubungan  diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan  atau  memutuskan  diri  dari  semua
bentuk  hubungan  dengan  sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik  shalat  diisyaratkan
dalam  arti  simbolik  takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri  kepada-Nya.  Jika
disebutkan  bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar  mereka  menghamba  kepada-Nya,   maka   wujud   simbolik
terpenting  penghambaan  itu  ialah  shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan  pernyataan  dimulainya  sikap
menghadap Allah.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah),  yaitu  bacaan
yang  artinya,  "Sesungguhnya  aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh  langit  dan  bumi,  secara
hanif  (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik  dan  Benar  itu),
dan  aku  tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku,  darma
baktiku,  hidupku  dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan,  dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]

Jadi,  dalam  shalat  itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan  vertikal  dengan  Allah,  dan  tidak   diperkenankan
melakukan  hubungan  horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam  keadaan  terpaksa).  Inilah  ide  dasar  dalam   takbir
pembukaan   sebagai   takbirat  al-ihram.  Karena  itu,  dalam
literatur kesufian  berbahasa  Jawa,  shalat  atau  sembahyang
dipandang  sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang  kematian  adalah  panutan  hubungan  horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan"  tanpa  hubungan  horizotal   seperti   pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]

Selanjutnya   dia   yang  sedang  melakukan  shalat  hendaknya
menyadari  sedalam-dalamnya  akan  posisinya  sebagai  seorang
makhluk   yang   sedang   menghadap  Khaliknya,  dengan  penuh
keharuan,  kesyahduan  dan  kekhusyukan.  Sedapat  mungkin  ia
menghayati  kehadirannya  di  hadapan  Sang  Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah  melihat  Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai  dengan
makna  ihsan  seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap  Tuhan,  shalat  juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.

Dengan  ihsan  itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat  penting  ibaratnya,  yaitu  penginsyafan
diri  akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia  (Allah)  itu  beserta  kamu  di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]

Bahwa shalat disyariatkan agar manusia  senantiasa  memelihara
hubungan  dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada  Nabi  Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain  Aku.  Maka
sembahlah  olehmu  akan  Daku,  dan  tegakkanlah  shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat  berarti
kelestarian  hubungan  yang  dekat  dengan  Allah  adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna  terakhir  hidup
di  dunia  ini,  yaitu  bahwa  "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan  kembali  kepada-Nya".  [11]  Maka  dalam
literatur  kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning  hurip"  (Asal  dan  Tujuan  hidup),  bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).

Keinsyafan  terhadap  Allah  sebagai  tujuan akhir hidup tentu
akan  mendorong  seseorang  untuk  bertindak  dan   berpekerti
sedemikian  rupa  sehingga  ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh  karena  manusia  mengetahui,  baik  secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang  tidak  benar  dan  tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju  Allah  ialah
yang  benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani  (nurani,
bersifat  cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).

Tetapi  manusia  adalah  makhluk  yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya  tidak  selalu
mampu  menangkap  kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari.  Sering  kebenaran  itu  tak  nampak
padanya  karena  terhalang  oleh  hawa  nafsu  (hawa  al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan  egois  sebagai
akibat  dikte  dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam  usaha  mencari  dan  menemukan  kebenaran  tersebut
mutlak  diperlukan  ketulusan  hati  dan  keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni,  yang  sanggup  melepaskan  diri  dari
dikte   kecenderungan   diri  sendiri  atau  hawa  nafsu  itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat  seseorang  membaca  surat
al-Fatihah  --yang  merupakan  bacaan  terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama  harus  dihayati
benar-benar  ialah  permohonan  kepada  Allah agar ditunjukkan
jalan yang  lurus  (al-shirath  al-mustaqim).  Permohonan  itu
setelah  didahului  dengan  pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan  kepada  Allah  (basmalah),
diteruskan  dengan  pengakuan  dan  panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam  raya  (hamdalah),  Yang  Maha
Pengasih  (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di  akhirat  kelak  -al-Rahim).
Lalu  dilanjutkan  dengan  pengakuan  terhadap  Allah  sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap  orang  akan  berdiri
mutlak  sebagai  pribadi  di  hadapan-Nya  selaku  Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak  akan  menghamba
kecuali  kepada-Nya  saja  semurni-murninya,  dan  juga  hanya
kepada-Nya saja  kita  memohon  pertolongan  karena  menyadari
bahwa  kita  sendiri  tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.

Dalam  peneguhan  hati  bahwa  kita  tidak  menghambakan  diri
kecuali   kepada-Nya   serta   dalam   penegasan  bahwa  hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti  dikatakan
oleh    Ibn   'Atha'   Allah   al-Sakandari,   kita   berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan  ke  arah
jalan  yang  benar.  Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan  hidup  ini  kepada  sesuatu
apapun   selain   Tuhan,  dan  ketulusan  berbentuk  pelepasan
pretensi-pretensi akan  kemampuan  diri  menemukan  kebenaran.
Dengan  kata  lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan  senantiasa  kepada  Allah
bahwa  Dia  akan  mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat  kita
tangkap  dengan  tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari
kungkungan  kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan  kecemasan  dan  harapan!  Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi,  di  hadapan  Allah  "nothing  is  taken  for  granted,"
termasuk  perasaan  kita  tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari.  Artinya,  apapun  perasaan,  mungkin
malah  keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk  dipertanyakan  kembali.
Salah  satu  konsekuensi  itu  adalah  "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan  harapan
yang  tanpa  kecemasan  samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang  disebut  sesat  pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.

Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad  baiknya"
tidak   akan  sampai  kepada  tujuan,  meskipun,  menurut  Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak  peduli  pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.

Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada  Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang  terkena  murka,
dan  bukan  pula  jalan  mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia  juga
mengisyaratkan  adanya  kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]

Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat  merupakan  kewajiban
"berwaktu"  atas  kaum  beriman.  [14]  Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu  tertentu,  dimulai  dari   dini   hari   (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib)  dan  akhirnya
di  malam  hari  ('Isya).  Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian  saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita  "santai"  sesudah  bekerja  (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam  diri  kita  untuk  mencari  kebenaran  menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan  kealpaan.  Karena  itulah  ada  pesan  Ilahi  agar   kita
menegakkan  semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu  luang  untuk  bekerja  keras
mendekati Tuhan.[16]